BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Poligami merupakan salah satu tema penting yang
mendapat perhatian dari Allah SWT, sehingga tidak mengherankan jika Allah meletakkannya
di awal surat an-Nisa ayat 1 yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia,
yaitu Adam, yang satu, kemudian istrinya dan dari keduanya berkembang yang
terdiri dari laki-laki dan perempuan yang banyak. Kemudian di ayat ketiga dari
surat an-Nisa itu satu-satunya ayat yang membicarakan masalah poligami yang
perlu mendapat perhatian dari kaum muslimin semuanya.
Beda halnya dengan para mufassir dan ahli fiqh,
diantara mereka ada yang mengabaikan redaksi umum tentang ayat ketiga dari
surat an-Nisa. Ayat tersebut mempunyai hubungan erat dengan masalah poligami
dengan para janda yang memiliki anak-anak yatim. Pada kenyataannya, ada yang
berpoligami tetapi hanya mencari yang masih perawan atau gadis, dan tidak
mempunyai kesiapan mengawini janda yang memiliki anak yatim. Hal ini menjadi
alasan kuat untuk tidak berpoligami, khususnya kaum laki-laki yang taraf
ekonominya dibawah standar.
Pembahasan masalah poligami tersebut tidak
lepas dari masalah mendidik anak yatim. Oleh sebab itu, kajian tentang poligami
perlu mendapatkan perhatian secara cermat, sekaligus melihat hubungan sebab
akibat diantara keduanya. Memang pada satu sisi, poligami yang terjadi dan yang
sesuai dengan kehendak ayat di atas akan dapat meringankan berbagai kesulitan
sosial yang dialami oleh perempuan, disamping adanya seorang laki-laki disisi
mantan janda. Namun pada sisi lain akan memunculkan masalah baru bagi tanggung
jawab pendidikan dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu al-Qur’an telah
mengisyaratkan untuk mengawini satu saja dari anak yatim atau janda yang
mempunyai anak yatim. Kemudian al-Qur’an beralih memerintahkan untuk mengawini
wanita-wanita lain, satu atau dua atau tiga atau empat. Namun pada ujung ayat
ketiga dari surat an-Nisa tersebut, dijelaskan bahwa jika tidak dapat berbuat
adil maka kawinilah satu saja.
Berdasar ayat diatas, poligami itu harus atas
dasar perlakuan yang adil di antara istri-istri yang ada. Jika tidak dapat
berlaku adil, maka cukup ambil satu saja, dari itu keberadaan poligami memang
ada, namun bahasa al-Qur’an nampaknya mempersulit adanya orang-orang yang akan
mengawini perempuan lebih dari satu orang. Pada sisi lain, tidak melarang jika
memang terjadi, akan tetapi tetap bersyarat. Poligami dengan cara menikahi
janda yang ada anak yatimnya tetap mengutamakan terwujud keadilan. Khusus pada
anak-anak yatim yang dibawa oleh janda, perintah ditujukan kepada laki-laki
yang telah beristri, bukan yang masih bujang. Dan jika laki-laki yang masih
bujang, maka hal ini bukan dikatakan poligami, karena ayat tersebut menjelaskan
mengawini wanita, dua, atau tiga, atau empat. Jadi berpoligami itu memang
dianjurkan bagi laki-laki yang telah beristri dengan syarat, sebagaimana
pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Syahrur, berbunyi : Pertama, istri
kedua, ketiga, dan keempat adalah janda yang memiliki anak yatim. Kedua, ada rasa
kekhawatiran takut tidak dapat berlaku adil kepada anak-anak yatim, jika
mempunyai rasa takut, maka poligami akan menjadi gugur ketika tidak terdapat
syarat tersebut.[1]
Pendapat Syahrur tersebut dapat dibenarkan,
sebab janda yang ada anak yatimnya itu kehilangan penopang keluarganya. Ia
perlu dibantu dengan mengawini untuk menjadi istri kedua, dan seterusnya agar
tidak canggung dan terhindar dari fitnah pada saat membantu membiayai anak-anak
yatim.
Di zaman sekarang, jika pendapat Muhammad
Syahrur diterapkan, maka akan muncul berbagai masalah, diantara apa masih ada
keinginan bagi laki-laki yang telah beristri menikahi janda yang memiliki anak
yatim? Sementara itu ia mempunyai tanggunggan bagi istri pertamanya dan
anak-anaknya. Ada juga yang mengemukakan argumen bahwa biaya bagi istri pertama
baik dengan adanya anak maupun tidak sudah merasa sulit, dan jika hal ini
dilanjutkan, maka laki-laki tersebut akan mendapatkan berbagai macam kesulitan.
Dari itu jalan satu-satunya tidak mengawini, akan tetapi memberikan bantuan
sekedarnya, yakni sekedar kemampuannya, yang tidak mengikat sebagaimana terikat
perkawinan.
Tentang perlakuan adil pada ayat-ayat poligami dalam
Al-Quran bukan perlakuan adil terhadap para istri, karena konteks ayat tersebut
berbicara masalah poligami dalam kaitannya dengan masalah social kemasyarakatan,
berkisar pada masalah anak yatim. Jadi perintah poligami dalam ayat di atas itu
sebenarnya untuk yang sudah bersuami dan itupun diutamakan kepada janda yang
banyak anaknya. Dan perintah untuk berbuat baik kepada anak-anak yatim, jika
mereka ada harta, maka harta mereka itu tidak boleh dicampur dengan harta orang
lain, disamping itu syarat lainnya adalah berbuat adil.
Di kalangan masyarakat lebih cenderung
memandang negatif terhadap pelaku poligami. Sebahagian masyarakat menghukumi
dengan tidak akan berlaku adil, baik materi atau imaterial (cinta). Sebagiannya
ada yang berpendapat bahwa poligami adalah sunnah Rasul dan ada yang mengatakan
poligami adalah kehususan pada Nabi.[2]
Adapun yang berpandangan bahwa keadilan itu dalam dua hal baik materi maupun
imaterial, terutama dalam hubb (cinta) dan Jima (hubungan intim
suami isteri) seperti Abdullah ibn Abbas, Kemudian Quraish Shihab menegaskan
bahwa keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan di bidang imaterial (cinta).
itulah sebabnya, orang yang berpoligami dilarang memperturtkan suasana hatinya
dan berkelebihan dalam kecendrungan kepada yang dicnitainya.[3]
Dari pemahaman seperti inilah sehingga suami
yang berpoligami tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap isteri- istrinya,
terutama dalam bidang imaterial, meski dia telah berusaha seoptimal mungkin.
Hanya Nabi yang mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, sedangkan para
pengikutnya tidak.[4]
Allah telah memberikan perhatian bahwa poligami itu sungguh berat. Seorang
Muslim yang melakukan poligami, sementara dia tidak yakin bahwa dirinya mampu
menerapkan keadilan terhadap isteri-isterinya, sesungguhnya dia telah melakukan
dosa besar dihadapan Allah. Demikian pula beberapa anggapan masyarakat eks
Kewadanan Kawali tentang poligami. Meskipun perkawinan poligami yang dilakukan suami
sesuai dengan syarat dan ketentuan, akan tetapi ada anggapan bahwa yang paling
dirugikan yaitu perempuan. Masyarakat memandang poligami merendahkan martabat
perempuan. Apabila seorang laki-laki yang sudah menikah, maka Ia menikah lagi
terlebih dikarenakan kekurangan istri, maka disini kedudukan istri dipandang
sangat terhina. Belum lagi dampak dari poligami, yaitu anak yang mesti dipelihara
dengan baik.[5]
Realitanya di eks Kewadanan Kawali, poligami
tetap terjadi dan ternyata tidak sedikit yang dinilai sukses oleh masyarakat
sekitarnya.[6]
Kondisi demikian sangat menarik untuk diteliti, sebab pada satu sisi, secara
umum muncul anggapan negatif mengenai poligami, tetapi poligami tetap
berlangsung dan ada di masyarakat yang menilai positif karena keluarga poligami
ternyata sukses dalam usaha dan pendidikan.
Sejalan dengan latar belakang tersebut
direncanakan penelitian dengan judul: “Dampak Poligami Terhadap Pendidikan
Anak” (Penelitian di eks Kewadanan Kawali Kabupaten Ciamis).
B.
Perumusan
Masalah
Dari deskripsi pada latar belakang masalah,
diketahui ada permasalahan poligami di kalangan masyarakat pada satu sisi, dan
pada sisi lain ada masalah dalam kewajiban mendidik anak. Permasalahan tersebut
dapat terjadi jika poligami dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi
persyaratan. Rumusan masalahnya:
1. Bagaimana
praktek poligami yang terjadi di wilayah eks Kewadanan Kawali?
2. Bagaimana
pendidikan anak pada keluarga berpoligami di wilayah eks Kewadanan Kawali?
3. Bagaimana
dampak poligami terhadap pendidikan anak di wilayah eks Kewadanan Kawali?
C.
Tujuan
Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui:
1.
Praktek poligami yang terjadi di wilayah eks
Kewadanan Kawali.
2.
Pendidikan anak pada keluarga berpoligami di
wilayah eks Kewadanan Kawali.
3.
Dampak poligami terhadap pendidikan anak di
wilayah eks Kewadanan Kawali.
D.
Kegunaan
Penelitian
Hasil penelitian ini memiliki kegunaan teoretis
maupun praktis. Kegunaan teoretisnya adalah untuk menambah kajian dan wawasan
pengetahuan tentang poligami dan pendidikan anak pada keluarga poligami. Adapun
kegunaan praktisnya antara lain sebagai berikut:
1. Bagi
peneliti yang saat ini bertugas sebagai Kepala KUA Kecamatan Sadananya, hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk
memberikan pengarahan dan pembinaan kepada masyarakat yang akan melakukan
poligami.
2. Bagi
lembaga tempat bekerja (KUA), hasil penelitian ini menjadi salah satu rujukan
dalam memberikan pertimbangan ilmiah mengenai poligami dan pendidikan anak.
3. Bagi
IAID Ciamis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai literasi ilmiah yang
memuat dampak poligami terhadap pendidikan anak.
4. Bagi
masyarakat luas, hasil penelitian ini menjadi salah satu bukti otentik mengenai
dampak poligami terhadap pendidikan anak.
5. Bagi
pemerintah, dalam hal ini khususnya Kementrtiaan Agama, hasil penelitian ini
dapat dijadikan sebagai salah satu masukan guna memberikan putusan mengenai
poligami dan pendidikan anak.
[1] Muhammad Syahrur, Nahw Ushul Jadidah Li
al-Fiqih al-Islami. Pen: Sahiron Syamsuddin, dan Burhanuddin (Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer) (Yogyakarta : 2004), h. 428.
[2] DR. Hj. Musda Mulia, MA, APU, Pandangan
Islam Tentang Poligami (Cet.I; Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender,
1999), h. 46 Bandingkan denganDrs. Khaeruddin Nasution, MA., Riba dan
Poligami : Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 85-92
[3]
Lihat Prof DR. H. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1996), h.
201
[4]
Lihat Musda Mulia, loc. cit.
[5] Dr. Marzuki, M.Ag. dosen Pendidikan Agama Islam dan Hukum
Islam pada jurusan PKn dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas
Negeri Yogyakarta. (2009), h. 3
[6]
Hasil penelitian pendahuluan kepada beberapa warga yang tetangganya berpoligami
(09 Feb 2014)
Comments
Post a Comment